MANAJEMEN SISA MAKANAN

MANAJEMEN SISA MAKANAN Di RUMAH SAKIT

Ada banyaknya sisa makanan pasien di rumah sakit menunjukkan belum optimalnya kualitas penyelenggaraan makanan di rumah sakit. Hal ini disebabkan sisa makanan pasiend apat menjadi suatu indikator dari keberhasilan penyelenggaraan makanan di rumah sakit(Depkes RI, 1991).
Sisa makanan adalah volume atau presentasi makanan yang terbuang (Comstock et al. 1979; Connors & Rozell 2004) atau masih ada dalam makanan yang disajikan (Barton et al. 2000)
Sisa makanan merupakan suatu dampak dari sistem pelayanan gizi di rumah sakit. Hal ini merupakan suatu implementasi dari pelayanan gizi dan aspek perilaku pasien. Banyaknya sisa makanan dalam piring pasien mengakibatkan masukan gizi kurang selama pasien dirawat. Kebutuhan gizi merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan dalam menyusun menu pasien. Penyelenggaraan makanan yang baik ketika pemberian makanan sehat yang terdiri dari makanan pokok, lauk, sayur-sayuran dan buah dalam jumlah yang cukup, dan dapat dihabiskan oleh pasien (Moehyi, 1992).
Sisa makanan dibedakan menjadi dua yaitu :
1.      Waste yaitu makanan yang hilang karena tidak dapat diperoleh atau diolah ataumakanan hilang karena tercecer.
2.      Plate waste yaitu makanan yang terbuang karena setelah dihidangkan tidak habisdikonsumsi.

Tujuan dari mengukur sisa makanan adalah untuk mengetahui daya terima makan pasien, mengetahui jumlah zat gizi ynag diasup, dan mengetahui kerugian institusi penyelenggara makan
Faktor-faktor yang mempengaruhi sisa makanan, yaitu peralatan makan yang menarik, makanan yang memenuhi selera pasien, pelayanan yang diberikan di ruang rawat inap, biaya makan, mutu makan, faktor sensori, proses belajar menyukai/ membenci makanan, situasi sosial, pendapatan, umur, pengetahuan gizi dan alergi/ intoleran terhadap makanan, dan jenis penyakit.
( Wiboworini,dkk , 2000).
Menurut Almatsier (1992), sisa makanan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu jeniskelamin, tingkat pendidikan, kelompok umur, cita rasa makanan, kelas perawatan, lamaperawatan dan penyakit mempengaruhi sisa makanan pasien. Jika faktor-faktor ini baik,maka persepsi pasien terhadap makanan yang disajikan akan baik sehingga makanan yang disajikan dikonsumsi habis. Jika persepsi pasien terhadap makanan yang disajikan kurang,maka makanan yang disajikan tidak dikonsumsi habis dan akan meninggalkan sisa.
Djamaluddin (2005) menyatakan bahwa beberapa faktor yang dapat mempengaruhisisa makanan pasien adalah jenis kelamin, kelas perawatan, dan penyakit pasien. Sisamakanan menyebabkan kebutuhan gizi pasien tidak terpenuhi, juga akan menyebabkanadanya biaya yang terbuang pada sisa makanan. Sehingga, sisa makanan umumnya digunakan untuk mengevaluasi efektifitas dari penyelenggaraan makanan serta kecukupangizi perorangan maupun kelompok. Pengamatan konsumsi makanan atau sisa makanan merupakan cara yang sederhana dan sangat penting untuk dievaluasi. Menimbang langsung sisa makanan yang tertinggal di piring adalah metode yang paling akurat, tetapi metode ini mempunyai kelemahan-kelemahan yaitu memerlukan waktu yang banyak, peralatan khusus dan stafyang terlatih, sehingga metode ini tidak mungkin dilakukan untuk penelitian besar.

Klasifikasi metode pengukuran sisa makanan menurut (Comstock, et al. 1979) adalah metode langsung dan tidak langsung. Metode yang langsung, terdiri dari Individual Plate Waste(penimbangan sisa makanan dengan memisahkan komponennya untuk setiap subjek), Aggregate Selective Plate Waste(penimbangan sisa makanan berdasarkan jenisnya kemudian dikumpulkan menjadi satu sebelum ditimbang), Aggregate Non-Selective Plate Waste(penimbangan sisa makanan tanpa dipisahkan berdasarkan jenisnya kemudian dikumpulkan menjadi satu sebelum ditimbang), Garbage Analysis( memisahkan dan menimbang sisa makanan yang ada di tempat sampah). Metode yang tidak langsung, yaitu Food Preference(Pengukuran kesukaan / daya terima makan secara umum melalui pendapat pribadi seseorang), Visual Estimation(Memperkirakan jumlah setiap item menu yang tersisa), dan Self –estimation of Plate Waste(menanyakan subjek jumlah makanan yang tersisa).

Setelah dilakukan penelitian, dari 7 metode yang ada hanya 3 yang sesuai dan bisa digunakan untuk menghitung sisa makanan yaitu individual plate waste, aggregate selective plate waste, dan perkiraan visual. Individual plate waste menyediakan informasi yang detail tetapi membutuhkan waktu yang banyak dan mahal. Aggregate selective plate waste dapat menghasilkan data berat sisa makanan yang sama dengan penimbangan langsung. Perkiraan visual dapat mencakup sampel yang banyak dan cukup representatif untuk memberikan perkiraan yang akurat dari jumlah sisa makanan secara keseluruhan.
Klasifikasi pengukuran makanan menurut Connors dan Rozell (2004), terdiri dari penimbangan berat atau fisik, recall 24 jam, dan secara visual. Metode penimbangan (food weighing) mempunyai tingkat akurasi yang baik, tetapi memerlukan tenaga yang intensif untuk menangani tempat makanan pasien dan mengukur sisanya. Metode recall melibatkan pasien untuk mengira-ngira jumlah sisa makanan dalam sehari (24 jam). Metode recall ini murah dan tidak melibatkan penanganan tempat makanan, tetapi tergantung pada ingatan responden (data retrospektif) dan mungkin tidak menyediakan cukup informasi untuk jenis masing-masing jenis makanan. Metode taksiran visual digunakan untuk mengukur masingmasing sisa makanan dalam satu siklus menu. Metode taksiran visual menghasilkan hasil yang cukup detil, tidak menggangu pelayanan makanan secara signifikan (Connors & Rozell 2004).
Metode yang dijadikan gold standard dalam pengukuran sisa makanan adalah metode langsung (individual plate waste dan Aggregate selective plate waste), karena metode ini menimbang secara langsung sisa makanan tanpa estimasi dan konversi. Dari segi ketelitiannya, metode langsung yang sering digunakan adalah individual plate waste. Individual plate waste tidak memerlukan tes validasi terlebih dahulu, karena tidak ada metode yang lebih akurat daripada metode ini, termasuk estimasi visual meskipun metode ini membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan metode lainnya (Comstock et al. 1979)
Metode taksiran visual mempunyai korelasi yang kuat dengan penimbangan, sehingga taksiran visual dapat digunakan untuk menentukan sisa makanan menggantikan metode penimbangan (Murwani 2001).
Salahsatu cara yang dikembangkan untuk menilai konsumsi makanan pasien adalah metodet aksiran visual skala Comstock. Metode ini lebih menguntungkan karena mudah dilakukan,tidak mahal dan tidak membutuhkan banyak waktu (Kirks, 1985).
 
Menurut Nida (2011), prinsip dari metode taksiran visual adalah para penaksir(enumenator) menaksir secara visual banyaknya sisa makanan yang ada untuk setiapgolongan makanan atau jenis hidangan. Hasil estimasi tersebut bisa dalam bentuk berat makanan yang dinyatakan dalam bentuk gram atau dalam bentuk skor bila menggunakan skala pengukuran. Walaupun mempunyai kekurangan, metode visual dapat menghasilkan hasil yang cukup detail dan tidak mengganggu pelayanan makanan secara signifikan(Cannors, 2004).
Metode taksiran visual dengan menggunakan skala pengukuran dikembangkan oleh Comstock dengan menggunakan skor skala 6 poin dengan kriteria sebagai berikut :
0 : Jika tidak ada porsi makanan yang tersisa (100% dikonsumsi)
1 : Jika tersisa ¼ porsi ( hanya 75% yang dikonsumsi)
2 : Jika tersisa ½ porsi ( hanya 50% yang dikonsumsi)
3 : Jika tersisa ¾ porsi (hanya 25% yang dikonsumsi)
4 : Jika tersisa hampir mendekati utuh ( hanya dikonsumsi sedikit atau 5%)
5 : Jika makanan tidak dikonsumsi sama sekali (utuh)

Skala comstock tersebut pada mulanya digunakan para ahli biotetik untuk mengukur sisa makanan. Untuk memperkirakan berat sisa makanan yang sesungguhnya,hasil pengukuran dengann skala comstock tersebut kemudian dikonversi kedalam persendan dikalikan dengan berat awal. Hasil dari penelitian tersebut juga menunjukkan adanyakorelasi yang kuat antara taksiran visual dengan persentasi sisa makanan(Comstock,1981).
Metode taksiran visual mempunyai kelebihan dan kekurangan. Kelebihan dari metode taksiran visual antara lain: waktu yang diperlukan relatif cepat dan singkat, tidak memerlukan alat yang banyak dan rumit, menghemat biaya dan dapat mengetahui sisa makanan menurut jenisnya. Sedangkan kekurangannya, diperlukan penaksir (estimator) yang terlatih, teliti, terampil, memerlukan kemampuan menaksir dan pengamatan yang tinggi dan sering terjadi kelebihan dalam menaksir (overestimate) atau kekurangan dalam menaksir (under estimate) (Comstock, 1981).
Menurut Tarua (2011), banyaknya sisa makanan yang dilihat harus benar-benar sisa makanan yang terbuang dan bukan bagian makanan yang tidak bisa dimanfaatkan sepertiduri atau tulang. Petugas yang bertugas menentukan konsumsi makanan pasien denganmenaksir sisa makanan menggunakan metode taksiran visual skala Comstock 6 poin hendaknya dilatih terlebih dahulu secara berkesinambungan dalam menaksir tiap jenis hidangan terutama untuk makanan yang bentuknya amorphous food  agar hasil taksiranvisual ini lebih akurat dan data konsumsi pasien lebih mendekati kebenarannya (Susyani,2005).
Sisa makanan dapat diketahui dengan menghitung selisih berat makanan yang disajikan dengan berat makanan yang dihabiskan lalu dibagi berat makanan yang disajikan dan diperlihatkan dalam persentase. Oleh karena itu sisa makanan dapat dirumuskan :
% SISA MAKANAN =                      BERAT SISA MAKANAN                 X 100 %
                                                            BERAT MAKANAN YG DISAJIKAN
Sisa makanan < 20% menjadi indikator keberhasilan pelayanan gizi di rumah sakit di Indonesia (Depkes, 2008). Sedangkan Menurut (Renangtyas, 2004) yang dikutip oleh Elizabet (2011) mengatakan bahwa sisa makanan dikatakan tinggi atau banyak jika pasien meninggalkan makanan > 25% dan dalam waktu yang lama akan menyebabkan defisiensi zat-zat gizi. Sisa makanan merupakan dampak dari sistem pelayanan gizi di rumah sakit sehingga masalah terdapatnya sisa makanan tidak dapat diabaikan karena bila masalah tersebut diperhitungkan menjadi rupiah maka akan mengakibatkan suatu pemborosan anggaran makanan (Sumiati, 2008).

Keterangan :
sisa makanan 0% = makanan habis
Sisa makanan 25% = sisa makanan ¼ porsi
Sisa makanan 50% = sisa makanan ½ porsi
Sisa makanan 75% = sisa makanan ¾ porsi
Sisa makanan 95% = sisa maknaan hampir utuh (±1sdm dikonsumsi)
Sisa makanan 100% = makanan utuh (tidak ada yang dikonsumsi)


Daftar Pustaka

Almatsier, Sunita. 1992. Persepsi Pasien Terhadap Makanan di Rumah Sakit.Jurnal Gizi Indonesia.Vol 17 hal 8796 Jakarta.

Cannors, P.L. dan Rozell S. B.. 2004. Using a Visual Plate Waste Study to Monitor MenuPerformance.J. Am. Dietetic Assoc . Volume 104, pp=94-96

Comstock, E. M., Pierre R.G., dan Mackierman Y.D.. 1981. Measuring Individual PlateWaste in School Lunches. Visual Estimation and Children’s Rating vs Actual Weighing of Plate Waste.J. Am. Dietetic Assoc . Volume 94, pp 290-297.

Departemen Kesehatan RI. 1991.Buku Pedoman Pengelolaan Pelayanan Gizi Rumah Sakit.
Jakarta: Ditjen Pelayanan Medik, Direktorat Rumah Sakit dan Khusus Swasta.

Djamaluddin, M., Endy Prajanto P., dan Paramastri, I.. 2005. Analisis Zat Gizi dan Biaya SisaMakanan pada Pasien dengan Makanan Biasa di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta. Jurnal Gizi Klinik Indonesia . Volume 1(3), pp 108-112.Kirks BA, Wolff HK. 1985.

A Comparison of Methods for Plate Waste Determinations. J Am Diet Assoc . Volume 85, pp 328-30 (1985).Moehyi, S., (1992). Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga 
, Jakarta: Bharata.

Nida, Khairun. 2011.Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Sisa Makanan Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Jiwa Sambang Lihum.. Banjarbaru: STIKES Husada Borneo.

Susyani, Endy Parjanto, dan Toto Sudargo. Akurasi Petugas dalam Penentuan SisaMakanan Pasien Rawat Inap Menggunakan Metode Taksiran Visual Skala Comstock 6Poin.Jurnal Gizi Klinik Indonesia . Volume 2, No. 1, Juli 2005.

Tarua, Rianti H. 2011.Hubungan Ketepatan Jam Pelayanan Makanan dengan Sisa Makanan Pasien Diet Nasi di Ruang Rawat Inap RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada



Komentar